a

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase dan jumlah penduduk miskin Indonesia mengalami penurunan, yaitu dari 11,47% (28 juta orang) pada September 2013 menjadi 10,70% (27 juta orang) pada September 2016. Namun, tingkat ketimpangan di Indonesia mengalami peningkatan. Rasio Gini Indonesia meningkat secara konsisten dari 0,33 pada tahun 2002 menjadi 0,40 pada tahun 2016. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan akses pada jasa keuangan merupakan salah satu cara untuk mencapai pertumbuhan inklusif. Salah satu pilar dalam pertumbuhan inklusif adalah inklusi keuangan (World Economic Forum, 2017).

Pertumbuhan inklusif dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan yang memberikan akses setara bagi seluruh pihak untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi (Ali dan Son, 2007). Sementara itu, inklusi keuangan dapat didefinisikan sebagai penyediaan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau (affordable prices) (Leeladhar, 2005). Inklusi keuangan juga didefinisikan sebagai penghapusan berbagai hambatan dalam mengakses jasa keuangan (World Bank, 2008).

Pemerintah Indonesia telah menyusun berbagai kebijakan untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Melalui Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2016, pemerintah menetapkan target inklusi keuangan sebesar 75% pada tahun 2019. Sebagai lembaga yang bertugas untuk merumuskan, menyusun, serta melakukan koordinasi penyusunan rencana pembangunan nasional dan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan, BAPPENAS menginisiasi “Studi Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif di Indonesia”, bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, KOMPAK, dan DEFINIT.
Studi ini dilakukan di 3 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan metode Mixed Method Research (MMR), yaitu metodologi penelitian yang menggabungkan antara metode kuantitatif dan kualitatif. Cakupan kegiatan dalam studi ini meliputi: 1) studi literatur hubungan antara inklusi keuangan dan pertumbuhan inklusif, 2) grup diskusi terfokus (Focus Group Discussion⁄FGD), dan 3) survei rumah tangga.

Hasil studi literatur menunjukkan bahwa inklusi keuangan berdampak positif terhadap pertumbuhan inklusif. Di Bangladesh, inklusi keuangan berkontribusi terhadap PDB sebesar 22,50% dan menciptakan 40% lapangan pekerjaan (Rahman, 2015). Sebuah studi di Indonesia juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara inklusi keuangan dan pertumbuhan inklusif. Peningkatan inklusi keuangan mendorong pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan (Sanjaya dan Nursechafia, 2012).

Dengan menggunakan data panel 211 negara tahun 1999 - 2015, studi ini menunjukkan bahwa inklusi keuangan berdampak positif terhadap pertumbuhan inklusif. Hasil analisis regresi panel data menunjukkan bahwa secara global, inklusi keuangan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan dan berpengaruh positif terhadap tingkat kesempatan kerja dan pendidikan. Khusus di Indonesia, apabila variabel-variabel inklusi keuangan, yaitu jumlah rekening tabungan, jumlah rekening pinjaman, nilai (Rp) saldo tabungan, dan nilai (Rp) saldo pinjaman di Indonesia meningkat sebesar 10%, maka akan menurunkan tingkat kemiskinan masing-masing sebesar 1,1%, 1%, 0,7%, dan 0,5%.

Hasil survei rumah tangga menunjukkan tingkat inklusi keuangan secara keseluruhan (voluntary dan involuntary) adalah 76,37%. Tingkat inklusi keuangan secara voluntary adalah 60,37%, sementara itu 16,01% rumah tangga dapat mengakses produk keuangan secara involuntary. Dengan menggunakan definisi inklusi keuangan yang lebih sempit, yaitu akses hanya pada lembaga keuangan bank, survei ini menunjukkan tingkat inklusi keuangan sebesar 46,49%.

Berdasarkan tingkat inklusi keuangan tersebut, untuk mencapai target inklusi keuangan 75% pada tahun 2019, apabila menggunakan definisi tingkat inklusi keuangan secara voluntary, maka inklusi keuangan harus meningkat sebesar 7,32% per tahun. Sementara itu, apabila menggunakan definisi inklusi keuangan yang lebih sempit, yaitu akses hanya pada lembaga keuangan bank, maka inklusi keuangan harus meningkat sebesar 14,26% per tahun.
Hasil studi juga menunjukkan beberapa alasan utama rumah tangga tidak memiliki produk keuangan adalah tidak memiliki kelebihan dana, takut tidak mampu membayar cicilan, dan tidak memiliki kelebihan uang untuk membayar premi asuransi. Pada kenyataannya, rumah tangga memiliki berbagai sumber pendapatan, namun tidak memiliki uang untuk ditabung. Hal tersebut dapat dikarenakan budaya menabung di masyarakat adalah sebagai residu atau sisa, bukan sebagai target. Oleh karena itu, sebenarnya masyarakat membutuhkan edukasi mengenai pengelolaan keuangan. Studi ini juga memberikan rekomendasi yang ditujukan kepada Kelompok Kerja (Pokja) SNKI sebagai alternatif strategi untuk mencapai target inklusi keuangan 75 persen pada tahun 2019.