a

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa Indonesia menargetkan tingkat inklusi keuangan sebesar 75% di tahun 2019. Data Global Findex tahun 2017 menunjukkan bahwa tingkat inklusi keuangan di Indonesia pada tahun 2017 adalah sebesar 48,9%. Dengan demikian, secara rata-rata dibutuhkan peningkatan inklusi keuangan sebesar 13% setiap tahunnya untuk mencapai target tersebut.

SNKI bertujuan untuk meningkatkan akses ke lembaga keuangan bagi masyarakat, terutama untuk kelompok masyarakat tertentu. Salah satu pihak yang menjadi sasaran SNKI adalah Penyandang Disabilitas, karena masih cukup banyak Penyandang Disabilitas yang belum memiliki akses ke lembaga keuangan. Hasil studi yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), KOMPAK (Kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia), dan DEFINIT pada tahun 2017 menunjukkan bahwa Penyandang Disabilitas mengalami hambatan secara internal maupun secara eksternal ketika mengakses lembaga keuangan. Hambatan internal yang dihadapi oleh Penyandang Disabilitas antara lain rendahnya literasi keuangan Penyandang Disabilitas, tidak memahami produk dan jasa di lembaga keuangan, dan masih minimnya kesadaran Penyandang Disabilitas terhadap pentingnya inklusi keuangan. Sementara itu, hambatan eksternal yang menyebabkan rendahnya akses Penyandang Disabilitas ke lembaga keuangan adalah masih belum adanya peraturan yang baku dari pemerintah atau regulator terkait standar pemberian pelayanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas yang berlaku bagi lembaga keuangan.

Hasil studi yang dilakukan BAPPENAS, OJK, KOMPAK, dan DEFINIT pada tahun 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 84,47% lembaga keuangan di tingkat pusat tidak memiliki kebijakan khusus terkait pelayanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas. Selain itu, sebanyak 91,26% lembaga keuangan di tingkat pusat tidak memiliki Petunjuk Teknis Operasional (PTO) khusus terkait pelayanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas. Di tingkat daerah, studi tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 88,57% lembaga keuangan tidak memiliki kebijakan khusus terkait pelayanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas.

Mengingat perlu adanya aturan yang baku terkait standar pelayanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas yang berlaku di lembaga keuangan, sebagai tindak lanjut dari Studi Inklusi Keuangan Penyandang Disabilitas tahun 2017, OJK menginisiasi kegiatan pengembangan Petunjuk Teknis Operasional (PTO) untuk pelayanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas. Kegiatan tersebut didukung oleh BAPPENAS dan KOMPAK, serta bekerja sama dengan DEFINIT. Dalam pengembangan PTO tersebut, dilakukan penyusunan studi literatur mengenai penerapan standar pemberian pelayanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas yang diberlakukan untuk lembaga keuangan di berbagai negara. Kegiatan selanjutnya adalah pelaksanaan Diskusi Grup Terfokus (Focus Group Discussion⁄FGD) yang melibatkan lembaga keuangan, regulator, pemerintah, dan Organisasi Penyandang Disabilitas untuk menjaring ide-ide untuk penyusunan draft PTO pelayanan keuangan bagi Penyandang Disabilitas. Draft PTO pelayanan keuangan untuk Penyandang Disabilitas selanjutnya menjadi bahan masukan bagi OJK untuk penyusunan kebijakan pelayanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas yang selanjutnya dapat diadopsi oleh lembaga keuangan.
Artikel terkait:
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/DetailMateri/484
https://difabel.tempo.co/read/1140598/nantinya-teman-difabel-tak-perlu-tanda-tangan-untuk-buka-tabungan